Tawuran pelajar semakin memperihatinkan

perkelahian atau bisa juga disebut tawuran semakin merajalela, bukan hanya tawuran antara pelajar tetapi juga mahasiswa. ada yang bilang berkelahi adalah wajar bagi remaja.

dikota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya tawuran ini sering terjadi data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya) tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar.

Nyawa pelajar melayang sia-sia, lagi dan lagi. Persis mengalami pengulangan yang sama. Aksi anarkis ala pelajar menambah catatan kelam di dunia pendidikan. Banyak jurus telah coba dilakukan, sebanyak itu pula aksi tawuran masih tetap eksis berlangsung. Entah karena jurusnya kurang jitu atau semua ini dianggap angin lalu. Pastinya, kita kembali dipaksa menghitung angka korban yang terus bertambah akibat tawuran pelajar. 

Sekolah seakan kehilangan wibawa. Pelajar adu jotos di jam efektif belajar, kita mau bilang apa. Kebetulan, di luar kendali, tak sengaja, atau kata apa yang bisa gambarkan lemahnya sistem kontrol sekolah. Sekolah, antara ada dan tiada. 

Tony Buzan, penemu metode pemetaan pikiran (mind mapping), pernah menyatakan satu hal menarik, “Dalam bentuk pendidikan yang baru, penekanan pendidikan harus dibalik. Jika tadinya berbagai fakta di luar diri seseorang yang lebih dahulu diajarkan, kini kita harus terlebih dahulu mengajarkan berbagai fakta tentang dirinya—fakta tentang cara manusia belajar, berpikir, mengingat, mencipta, dan menyelesaikan masalah”. Jika puspa ragam ilmu diajarkan di sekolah, mengapa masih ada saja pelajar yang tega menghabisi pelajar lainnya? 

Belajar matematika dan belajar tentang matematika, coba cermati maknanya, beda atau sama? Belajar akhlak pasti hasilnya lebih berdampak bagi pelajar ketimbang belajar tentang akhlak. Kesadaran berperilaku baik dalam keseharian, hasil dari belajar akhlak. Belajar matematika berarti pelajar akan menginternalisasi makna kejujuran, konsistensi, cara berpikir sistematis, buah dari hasil belajar bermatematika. Belajar tentang matematika, ya pelajar paling hanya tahu bilangan, aljabar, trigonometri, dan seabrek teori matematika lainnya. 

"Belajar tentang", bicara soal teori saja. Pelajar hanya sekadar tahu tapi tak paham ilmu. Ilmu yang dimilikinya tak bermakna. Cirinya, ilmu itu tak bermanfaat bagi si pemilik ilmu. Bahkan, membuat si pemilik ilmu tak mengenali dirinya. Inilah tanda sekolah tak mampu ajarkan nilai-nilai kehidupan. Di satu sisi menimba ilmu tentang teori menyelesaikan konflik, misalnya, di sisi lain perilaku destruktif tetap jadi gaya hidup keseharian. Dengan kata lain, teori pelajaran tak bersifat kontekstual dengan kehidupan nyata. Semakin banyak teorinya, semakin pusing kepala para pelajar kita. “Ah teori saja, cape deh”, mungkin itu yang tergurat di benak para pelajar kita.

Penulis : Unknown ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Tawuran pelajar semakin memperihatinkan ini dipublish oleh Unknown pada hari Selasa, 27 November 2012. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan Tawuran pelajar semakin memperihatinkan
 

0 komentar:

Posting Komentar